Thursday, 22 January 2015

Antara Cinta dan Benci

Jika cinta bisa berubah menjadi benci, maka benci juga bisa berubah menjadi cinta.



Aku menunggu. Aku menunggu rasa benci itu kembali menjadi cinta, sebab kita tidak bisa memulai dengan adanya benci, meskipun mungkin hanya aku yang membenci. Kalau kau ingin tahu, aku tidak suka menjadi satu-satunya yang membenci. Jadi, kuanggap saja kau juga membenciku. Egoisnya lagi, aku akan marah jika itu benar adanya.

Bagaimana jika aku letih menunggu? Bagaimana bila akhirnya aku menyerah pada kebencian ini dan memilih pergi? Mungkin pergi merupakan pilihan terbaik, atau mungkin tidak? Bagaimana jika kau memberitahuku saja apa yang kau inginkan? Ide bagus. Sepertinya. 

Jarak

Jarak. Terkadang, kita menciptakan jarak dengan orang-orang tertentu. Terkadang, kita hanya menciptakannya dengan maksud menghakimi, tetapi terkadang, kita memang membutuhkannya. Mungkin untuk belajar memaafkan orang itu, atau mengendalikan diri kita dari amarah yang mungkin sesaat. Mungkin sekedar menguji seberapa dalam kita mampu merindu. Atau mungkin memang keadaan yang membuat seperti itu.

Sebenarnya, kita menunggu. Kita menunggu jarak itu berubah, dan tentu saja kita menunggu hingga tidak ada jarak lagi, seperti dulu. Aku mati-matian menjaga jarak itu tetap seperti itu; tidak menjadi lebih lebar lagi. Namun, sia-sia. Jarak itu makin lebar. Haruskah aku membiarkannya?

Berhasil. Anggap saja aku berhasil mempertahankannya. Tapi bagaimana jika selama kita jauh, ada orang lain yang mengisi kekosongan itu? Bagaimana jika tempatku tergantikan oleh orang lain? Akankah kamu memegang teguh kata-katamu, atau malah memilih membuat dirimu nyaman sendiri dan melupakanku? Siapa yang harus kusalahkan? Diriku? Dirimu? Orang lain? Dunia?

Kuanggap semua akan baik-baik saja, sebab semua akan baik-baik saja, pada akhirnya.
Jadi, kita akan bertemu lagi.





Besok. 

Tuesday, 13 January 2015

Part Sekian

Kau tahu, mengapa ini aku namakan bagian kesekian? Mengapa bukannya bagian ke x atau bagian terakhir? Sebelumnya, aku sudah menulis hingga bagian ke-6, lalu mengapa ini bukan bagian ke-7? Jawabannya adalah karena aku tidak tahu sampai mana pikiranku mampu berkelana. Di masa mendatang, akan ada sederet keraguan-keraguan lain yang terkait dengan hal lama atau sama sekali tidak. Pada akhirnya, aku akan mencapai bagian kesekian, tapi bagian itu bukanlah akhir. Akan ada pengulangan, berkali-kali, sampai jiwa ini dipanggil pemilik yang sesungguhnya.


Ketika kau bingung, mungkin ada baiknya kau menjelajahi benakmu, tapi kuperingatkan, itu tidak akan mudah. Nantinya, akan banyak pertanyaan yang kau tidak bisa temukannya jawabannya. Sebagian memang lebih baik kau tinggalkan tanpa terjawab, tapi sebagian lagi harus kau temukan jawabannya. Dan kau akan tercengang saat menyadari jawaban itu ada di sana sejak awal...

Part 6—Masih Menunggu

Aku mungkin belum memutuskan, tetapi akan memutuskan untuk melepas mimpi itu dan memulai hidup baru, tentunya setelah aku lolos dari lilitan si gajah. Kukatakan bahwa kekhawatiranku pagi ini ialah nasib seperti mereka, tetapi kucoba untuk mengenyahkannya. Meskipun ini berbeda dari mimpiku itu, tetapi ini tetap saja bisa terhambat oleh meja registrasi. Dan lagi-lagi itu disebabkan oleh kekecauan yang kubuat. Anggaplah aku lolos dan mendapatkannya, lalu memulai kembali kehidupan di ibukota, bersama orang-orang yang seumur hidup bersamaku. Tidak buruk, bukan? Pada akhirnya aku tidak hanya melepas mimpi untuk pergi ke benua lain, tapi melepas mimpi untuk menetap di kota tempat sang gajah bernaung. Tetapi sekali lagi, itu tidak buruk, kan?

Kawan, kau pikir habis perkara? Tidak. Aku masih harus melewati satu proses yang tertulis singkat namun terasa panjang. Sebenarnya aku begitu semangat untuk hal itu, membayangkan aku akan membenamkan diriku di antara indahnya bagaimana sesuatu bergerak dan terganggu, dan itu disebabkan oleh sesuatu yang lain, namun, aku belum mencapai itu. Bahkan hanya tinggal sedikit lagi dan aku merasa bahwa ini bahkan lebih sulit dari yang sudah-sudah. Pada akhirnya ini seperti mendukung pemikiran untuk melepas mimpiku. Bahwa yang terpenting adalah meloloskan diri dari belitan si gajah dan pergi jauh. Sangat bertolak belakang dengan mimpi semula yang ingin menikmati setiap proses dan melanjutkan ke tempat yang jauh.

Aku ingat ketika seorang seniorku berkata, dan kau masih berjuang di kandang gajah. Seingatku, kami berlima, dan aku yang terakhir. Aku merasa terasing oleh fakta bahwa mereka sudah lepas dari belitan si gajah, meskipun satu di antaranya dengan cara yang lain. Tapi dia salah satu orang yang aku kagumi. Jujur, mungkin aku tidak akan pernah bisa mengambil keputusan berani seperti keputusan yang pernah ia ambil, terlepas ia menyesalinya atau tidak.

Berjuang, ya, aku masih berjuang. Ada sisi lain dalam diriku yang ingin minta diselamatkan, padahal seumur hidup aku mencibir bagaimana perempuan dalam dongeng diselamatkan. Kau harus menyelamatkan dirimu sendiri, teriakku, seolah si perempuan bisa mendengarku. Bagaimana pun, aku sekarang tergoda, yang mungkin beberapa saat dari sekarang sudah tidak akan mempertimbangkan itu lagi. Bayangkan, aku hanya perlu melakukan usaha terakhirku dan begitu aku lolos, aku bisa menyongsong yang baru, dan ketika semua tidak menjadi lebih baik dan semua ketidakpastian membaur menjadi sesuatu yang pasti, aku sudah menjadi orang lain. Peran yang kumainkan sudah bertambah dan aku sudah menjadi tanggungjawab orang lain, yang semula tanggungjawab orangtuaku, tanpa melewati tahap aku bertanggungjawab akan diriku sendiri. Tetapi, apakah itu yang aku inginkan?


Bersambung dan tidak tahu akan berlanjut ke mana...

Part 5—Dalam Dekapan Tangan yang Akrab

Ada sesuatu yang lain, di pagi ini. Bukan ketakutan akan hal itu, tetapi hal yang lebih jauh. Bukan juga lebih jauh ke depannya lagi. Aku takut akan apa yang terjadi setelah akhirnya aku bisa keluar dengan terhormat dari lilitan belalai si gajah. Aku takut bernasib sama sepertiberapakah jumlah mereka?yang mencari ke sana ke mari.

Sudah kukatakan, niatku pergi ke belahan Bumi yang lain terhambat restu. Oh, mereka merestui, tapi si pengendali tidaksi pengendali itu benar-benar hidup, eh? Ketika pintu yang satu tertutup, maka kau baru menyadari ada pintu lain. Tetapi pintu itu tidak bisa aku gapai, disebabkan oleh kekecauanku selama ini. Siapa yang mau memberikan tangan untuk pelajar yang sepanjang perjalanannya menorehkan catatan yang tidak cemerlang? Aku akan kalah di meja administrasi. Lagipula, aku tidak merasa aku pantas untuk itu. Dan lagi, bisakah aku menjadi seorang scientist yang kompeten?

Sekali lagi, mimpi yang harus kubuang: melanjutkan studi ke negara yang jauh itu, belajar semua hal baru dan memperdalam keilmuanku, berinteraksi dengan mereka dan bekerja di tempat itu. Aku tidak tahu dengan jelas tempatnya, tetapi itu tempat di mana mereka mempelajari lebih dalam bidang kecil yang ingin aku pelajari. Kuberitahu kau betapa hebatnya ilmu yang sedang kupelajari: kau bisa mempelajari sesuatu yang kecil, yang jauh lebih kecil dari debu di perabot rumah nenekmu; kau bisa mempelajari sesuatu yang sangat luas, saking luasnya kau sampai lupa di mana dirimu berada; kau bisa mempelajari sesuatu yang mungkin masih bisa kau lihat dan kau gapai, dan disitulah aku memilih bernaung, terpukau melihat keharmonisan pergerakan. Jalan untuk menggapainya seakan hampir tertutup untukku. Kau tidak bisa menyangkal bahwa si pengendali itu tidak berperan dalam hal ini. Dan seperti yang sudah kukatakan, jalan lain hanya berujung pada penolakan berkasku di meja registrasi.

Sebenarnya, aku bisa saja memilih yang lebih egois. Aku bisa saja memaksakan pergi. Tapi hal lain merutukku. Untuk apa aku pergi jauh dengan hasil yang tidak menjanjikan? Apakah dengan pergi akan menjadikanku ahli? Aku tidak sehebat itu dan menempaku bertahun-tahun belum tentu menjadikanku cukup berharga. Pada akhirnya, mungkin aku tidak akan menjadi cukup berguna untuk diriku sendiri, keluargaku dan untuk orang lain. Jadi, mengapa aku tidak tinggal saja?


bersambung

Part 4—Terlambat

Kawan, ternyata tidak semudah itu. Gajah itu tidak terlihat jinak memang, tapi awalnya kupikir ia berbelas kasih. Tidak. Ia kejam. Jika kau lemah, maka tamat riwayatmu. Kuceritakan lagi agar kau lebih bisa memahami, mungkin.

Ketika aku berumur enam belas, aku merubah sedikit mimpi sederhanaku, yang tadinya sebatas menuangkan segalanya dalam bentuk tulisan, menjadi mimpi yang lebih lagi, namun masih sederhana. Aku hanya ingin mengerjakan sesuatu dengan target tertentu, dan perjalanan, proses serta hasilnya aku tuliskan dan publikasikan. Suatu pekerjaan yang menurut bayanganku tidak menuntut banyak waktu, di mana aku tetap bisa di rumah mengurus keluarga yang entah kapan akan aku bangun, dan aku tetap bisa menulis buku lain. Saat itu, si gadis berumur enam belas tahun, dengan naifnya berpikir untuk empat tahun bersama si gajah dan mempelajari alam semesta, dua tahun berikutnya di tempat di dekat si gajah untuk mempelajari manusia. Manusia selalu menarik perhatianku dan aku ingin mempelajari sesuatu yang bisa membantu.

Setahun kemudian, ketika aku belum mengenal si gajah, aku terpesona oleh keindahan yang bahkan tidak bisa dilihat langsung. Aku berpikir untuk ke negara yang dulu menjajah negara ini, dan mau tidak mau aku teringat perkataanku ketika sepupuku yang cantik dan baik hati mengatakan bahwa ia ingin mempelajari sastra bangsa yang pernah menjajah Ibu Pertiwi. Saat itu aku masih berumur tiga belas tahun dan belum mengerti bahwa sesuatu yang sudah berlalu menjadi sejarah jika itu bermakna dan ketika seseorang menginjak kakimu di angkutan umum, itu menjadi hal yang bahkan sangat tidak berarti untuk kau ingat atau kenang sebagai sejarah.

Aku ingin ke sana, melihat orang-orang yang warna kulitnya jauh lebih terang dari warna kulitku. Aku ingat sewaktu kecil banyak yang mengira aku anak kebangsaan lain karena warna kulit dan bentuk mataku, tapi toh seiring aku tumbuh, aku menjadi orang yang tidak perlu diragukan lagi kebangsaannya.

Waktu berlalu dan aku mulai kehilangan minat dengan sesuatu yang tidak bisa aku lihat. Aku bahkan tidak bisa merasakannya. Aku tetap ingin ke negara itu, tetapi ingin belajar yang lain. Aku muak dengan semua hal yang terasa membelenggu, kaku dan tidak indah. Jangan salah paham. Aku memang si perfeksionis penyuka aturan dan keteraturan, senang membuang-buang waktu untuk menganalisis yang tidak penting, tetapi aku mudah bosan dan tidak suka ketika terlalu dikungkung. Tetapi aku sadar bahwa aku menilai dari sudut pandang yang berbeda, bahwa aku tidak salah pilih dan aku hanya jenuh, itu saja. Aku selalu jenuh, tapi aku selalu berhasil kembali tanpa kehilangan apa pun.

Aku menemukan lenteraku yang hampir mati. Tapi aku tetap hilang arah. Aku bahkan tidak bisa pergi ke suatu tempat yang baru aku kunjungi sekali dengan cara yang berbeda. Butuh dua kali aku menyusuri jalan yang sama dengan kendaraan yang sama. Pada akhirnya, aku bisa sendiri menemukan jalan pulang ke tempat tinggalku atau menemukan tempat temanku. Mungkin karena aku terbiasa menjalankannya sendiri. Aku selalu memutuskan sendiri, sebab aku terbiasa diperbolehkan memilih sesuai keinginanku. Tetapi, kali ini aku membutuhkan petunjuk. Mungkin bimbingan. Maka, aku kembali menemukan arahku dengan bantuan orang lain. Aku melihat punggungnya dan mengikutinya. Bagaimana pun aku tidak bisa menyusulnya. Belum.

Ketika aku akhirnya bisa menyusulnya, aku berbicara kepadanya. Cukup lama hingga akhirnya aku kembali ke jalanku lagi. Sebelum aku berbelok, aku sempat bertanya kepadanya. Aku bisa merasakan akan ada persimpangan di ujung jalan, bisakah membantuku memilih? Setelah simpang itu, akan ada jalan terjal, bisakah membantuku? Aku berbelok, menyusuri jalanku dengan lega dan tenang. Aku sendirian, tapi bila saatnya tiba, orang itu akan membantuku. Tidak sampai akhir, tetapi suatu akhir yang kecil. Sesuatu yang masih dalam batas kemampuannya.

Semua membaik dan aku mulai dimanjakan oleh mimpi-mimpi yang melenakan. Aku melihat kembali tempat di mana ada menara yang paling romantis di seluruh dunia, tempat yang sudah dari  dulu ingin kukunjungi dan mungkin belajar keindahan yang sebenarnya di sana. Tetapi, aku merasakan dorongan lain saat aku melihat gambaran di tempat aku akan bekerja di masa depan. Tempat itu terlihat sempurna bagiku, ada di negara bagian, di lingkup yang lebih besar dan lebih jauh dari tempat romantis itu.

Aku membuat daftar kemungkinan aku bisa ke sana, yang tentunya menjadi suatu uraian panjang tiada akhir. Ketika menulis daftar tidak menjadi lebih baik, aku meninggalkan daftar itu dan singgah di penyesalan akan semua kekacauan yang aku buat. Betapa menyakitkan fakta bahwa saat kau membuat kekacauan, kau sangat menikmatinya dan bertahun kemudian kau akan menyesalinya. Di tengah penyusunanku, aku terhambat oleh restu. Pendidikan penting, tapi perempuan? Haruskah perempuan menganyamnya sampai setinggi itu? Tidakkah itu terlalu lama sebelum akhirnya perempuan kembali ke kodratnya?

Kembali ke masa ini. Kubuat lebih sederhana untukmu: aku belum memulai tahap untuk menyelesaikan sekolahku dan akan terlambat yang dengan naif dihitung empat tahun oleh si gadis berumur enam belas tahuntetapi toh terlambat beberapa bulan sudah tidak menjadi masalah bagiku. Aku hanya belum siap jika itu menjadi lebih terlambat lagi, dan semoga tidakaku akan berjuang untuk mencapainya.


bersambung

Part 3—Hadirnya si Gajah

Pilihan keduaku bukan ketika memilih sekolah menengah pertama, tetapi ketika aku dengan berani memilih sekolah menengah atas yang berbeda dari pilihan semua orang. Saat itu aku sudah bukan si nomor satu, tetapi aku bersama seseorang yang sedikit kukenal selama tiga tahun kami belajar, menjadi satu-satunya lulusan dari sekolah itu yang mendapat tempat di sekolah bergengsi itu. Sekolah yang selalu digambarkan seorang seniorku di perguruan tinggi sebagai sekolah yang semakin padat dipenuhi hiruk pikuk ibu kota. Dulu warnanya hijau, lalu berubah menjadi oranye. Aku menempati urutan kedua puluh dari daftar bawah siswa yang diterima. Nilaiku menjadi enam terbaik di sekolah lamaku, namun di sekolah baru, nilai itu hampir menjadikanku terbuang dan terancam masuk sekolah yang tidak aku inginkan. Itu kebanggaan pertamaku, dengan sistem belajar yang sepenuhnya berbeda dari sekolah lain.

Di sekolah itu, aku (kembali) mengenalnya. Itu sesuatu yang sudah kukenal dari kecil, namun terlupakan begitu saja, terkubur di bawah tuntutan-tuntutan lain. Di sini, science belum semaju di sana. Di sini, ada keterbatasan dana dan peralatan. Di sini, sesuatu yang lebih mendalam dari science itu sendiri terlupakan. Di sini, sesuatu yang terjadi di luar Bumi adalah sesuatu yang sepenuhnya berbeda. Di sini, itu sering disalahartikan sebagai sesuatu yang lain: ramalan.

Ketika aku duduk di ruang itu bersama sekitar tiga puluh orang siswa, aku menyadarinya. Belum sebulan aku belajar di sekolah itu dan di situlah aku: mendengarkan penjelasan umum seputar olimpiade sekolah. Remaja-remaja di sini bukanlah remaja-remaja yang beberapa bulan ke depan akan meraih indeks prestasi di atas tigasudahkah aku bilang bahwa sekolah itu memakai indeks prestasi, sesuatu yang baru diterapkan selama setahun?melainkan hanya orang-orang biasa, yang entah bagaimana diminta guru mereka masing-masing untuk menghadiri pertemuan ini. Aku tahu persis oleh siapa aku diminta dan mengapa. Tetapi toh aku menyimpang dari ilmu fisik ke sesuatu di luar Bumi. Hampir ketika aku menetapkan pilihan, aku dibuat dilema akan sesuatu di dalam Bumi. Mengapa aku tidak mempelajari si bola yang tidak bundar itu saja? Tapi toh aku tetap memilih yang lebih luas, yang saking luasnya bahkan tidak bisa kita lihat, tak peduli seberapa jauh horizon itu membentang. Hari itu aku tahu bahwa ketertarikanku kepada science secara umum.

Dalam setahun, aku sudah beralih dari si bintang yang panas ke cairan yang berbahaya, namun tetap terasa sama.  Akhirnya, aku tahu bahwa itu bukan aku: belajar sangat cepat dan sekilas, tanpa dipahami benar-benar, tenggat waktu. Semua hanya merusak kesenangan dalam belajar. Maka, kuputuskan itu bukan jalanku dan pergi.

Aku menjalani kehidupan biasa sebagai siswa tanpa prestasi olimpiade dan aku bahagia dengan itu. Mungkin karena aku tidak cukup mampu, atau seperti yang sudah kukatakan: aku tidak mau. Hal yang kupikirkan hanyalah kehidupan masa depan di depan komputer dan menulis, seperti yang sudah kuimpikan sejak bertahun-tahun lalu: menjadi penulis. Sederhana, tapi bahagia. Aku terlalu naif untuk memikirkan uang. Untuk apa anak berusia lima belas tahun memikirkan uang?

Suatu hari, si gajah mulai terbayang-bayang di benakku. Banyak teman-temanku yang ingin ke sana. Aku tidak pernah berpikir untuk pergi ke sana, meninggalkan ibu kota dan jauh dari kedua orangtuaku yang setengah mati mencintaiku. Aku hanya ingin pergi ke pinggir kota, naik kereta ke sana pada pagi hari dan pulang dengan kereta yang sama pada sore hari. Entah apa yang merasuki hingga akhirnya aku ingin ke sana. Beberapa kali kusebutkan, namun orangtuaku belum menganggap serius. Mungkin mereka tidak mendengar, atau mereka takut sang bunga akan pergi jauh?

Aku melihatnya lagi, di dalam jiwa si gajah. Gajah itu hanya satu di dunia itu, dan di negara dengan banyak pulau, bagian itu hanya ada satu dan itu ada di dalam jiwa si gajah. Aku, yang sudah dari setahun yang lalu mencintai si gajah, semakin berniat mendatanginya karena bagian itu. Bahkan, di cakupan yang lebih luas, di bagian tenggara, hanya di negara ini lah. Aku semakin memantapkan pilihanku.

Tidak mudah untuk ke sana. Nilaiku hanya rata-rata, dengan indeks prestasi kumulatif tiga koma nol sekian. Harapanku adalah jalur tanpa ujian, tapi cukupkah nilaiku selama tiga tahun itu? Belum beres kekhawatiranku, ada yang lain. Sudah dua tahun alat kehidupan yang sebenarnya dikendalikan manusia namun bisa menjadi pengendali manusia, tidak bersikap baik dengan kami. Dia tidak bergerombol seperti sebelumnya, karena kata ibuku, roda itu berputar. Sampai bertahun-tahun kemudian aku terus mengingatnya: roda berputar. Dulu mungkin lebih mudah bagiku untuk mendapatkan apa yang aku mau karena si pengendali itu berpihak kepada kami. Bagaimana aku akan melanjutkan?

Dua hal itu mulai tidak menyeramkan lagi ketika akhirnya solusi makin tampak. Tapi itu tidak mudah, dan di tengah kekalutan itu semua, aku hampir kehilangan semua berkas untuk pendaftaran ulang. Berkas itu hampir saja dibakar di depan mataku.

Ada yang bilang, sesuatu yang indah dimulai dengan hal-hal mengerikan. Kurasa aku percaya akan hal itu, karena setelah rentetan hal mengerikan, aku menyongsong keindahan. Tempat itu begitu indah, seperti magik. Entah aku salah ingat atau bagaimana, tetapi seingatku, gajah memang magis. Ingatan gajah kuat, sekuat ia menahan memori perjalanan, menyerap dan memahami ilmu, kehidupan dan jalinan. Sekali lagi, aku memilih yang tidak biasa. Debu-debu yang bukan debu-debu dalam bentangan luas alam semesta, di dalam dekapan sang gajah. Mereka mencibirku akan pilihanku, untuk apa kau mencoba mengenali titik titik cahaya di langit itu?

Aku, si gadis keras kepala yang tuli. Seingatku, dari dulu aku tidak pernah mempedulikan omongan orang. Aku menjalani hidupku dengan pilihan-pilihanku. Untuk apa mereka memusingkanku?

bersambung

Part 2—Si Nomor Satu

Aku selalu memimpikannya: keindahan belahan Bumi yang lain, suasana yang sepenuhnya berbeda, haus akan ilmu, semangat belajar akan semua hal, pesona ketidaktahuan yang menunggu untuk diselami. Bertahun-tahun aku memimpikannya, hingga akhirnya setahun yang lalu, semua semakin jelas: ke mana tujuannya, apa yang aku inginkan, bagaimana dan apa yang kucari.

Biar kuperjelas. Sejak dulu, aku suka belajar. Aku ingin tahu semua hal. Rasa ingin tahuku cukup besar walaupun tidak sebesar ketika aku masih di sekolah menengah. Banyak hal yang menguapkan rasa ingin tahuku, juga semua kemampuanku, termasuk kemampuan bermimpi, dan semangatku. Semenjak itu, performaku berkurang. Aku bukan lagi si nomor satu, bukan lagi anak yang selalu dibicarakan oleh ibu-ibu yang berharap memiliki anak sepertiku, tapi apa peduliku? Bertahun-tahun setelah itu, aku tetap menjadi bahan pembicaran mereka yang menganggapku hebat sedari kecil, tapi aku bukannya bangga. Aku malah takut, takut karena aku tahu betapa kelirunya mereka akan diriku. Aku seperti pemain teater yang takut mengecewakan penonton, jadi kubiarkan saja mereka hidup dengan fantasi mereka tentang diriku. Kubiarkan hanya aku yang bisa mendengar jeritanku.

Aku bukan seorang penetap sejati. Mungkin ambivalensi atau ambivert itu bisa menjelaskan. Aku suka berada dalam istana yang kuciptakan sendiri, tapi jangan harap aku akan bertahan lama. Bukan, bukan, jangan berpikiran seperti itu. Aku tidak meninggalkan tempat itu. Aku memperluas sendiri istanaku. Hanya aku yang bisa melihatnya. Mungkin ini yang akhirnya menjelaskan tentang pilihan-pilihanku. Aku memilih yang kebetulan sangat sedikit dipilih oleh orang lain. Aku tidak mengikuti arus. Mungkinkah selera ku yang berbeda, atau aku hanya menikmati kesendirianku saja? 

Pilihan pertamaku saat aku menolak dengan keras untuk kembali bermain di Taman Kanak-Kanak. Aku sudah satu tahun di sana dan aku sudah bosan! Tapi mereka berkata, umurku tidak cukup untuk memasuki dunia itu, dunia di mana aku akhirnya bisa mempelajari kata-kata, memakai seragam yang sama dengan bendera negeri ini, mempunyai lebih banyak teman dan segudang hal berarti yang bisa kulakukan selain menyanyi, menggambar, mewarnai dan bermain. Maksudku, bukan berarti bermain dan kegiatan motorik tidak penting, hanya saja aku si bocah berumur lima tahun yang menurunkan sifat keras kepala dari ayahnya, merasa sudah cukup untuk itu. Cukup satu tahun, kataku keras kepala. 

Orangtuaku yang sudah pusing dengan berbagai coretan di dinding rumah dan buku-buku yang sebetulnya tidak boleh kucoret di situ, mencari jalan keluarnya. Setahun sebelumnya mereka mencari jalan keluarnya dengan memasukkan aku ke Taman Kanak-Kanak dan saat itu, ketika aku menolak kembali ke sana dan semakin banyaknya tulisan-tulisansudah bukan coretan tidak berartimereka tetap mengantarkanku ke bangunan dengan cat seperti bendera negera ini. Antriannya cukup panjang. Aku melihat sebagian besar temanku di Taman Kanak-Kanak mendaftar di sekolah itu. Aku tidak begitu memperhatikan mereka karena aku sibuk mengeja setiap kata yang aku lihat selagi aku menunggu giliran dipanggil. Aku dites. Tidak ada masalah. Lalu, umurku masih menjadi kendala. Apakah segala sesuatu dibatasi oleh umur? Bagaimana sesuatu yang sesuai rata-rata ditetapkan sebagai aturan? Bagaimana pun, aku lolos hari itu. Dan aku bangga karena beberapa tahun kemudian, aku tahu bahwa banyak orang sepertiku yang lolos. Tetapi, hari itu aku lolos dengan masa percobaan. Tiga bulan dan aku tidak perlu berusaha terlalu keras. Aku hanya menjalani seperti aku di Taman Kanak-Kanak dan tiba-tiba aku sudah menjadi si nomor 1.


bersambung 

Sunday, 11 January 2015

Sang Lebah Penganggu

Aku tahu siapa pun yang melihatku tidak akan menganggapku sebagai bidadari. Aku tidak cantik, aku tidak menarik, aku tidak hebat. Tidak ada pendar di sekeliling tubuhku dan kupu-kupu enggan mendekatiku. Akan tetapi, aku bukan mencoba bersikap seperti bidadari. Aku hanya seorang dengan kepedulian yang mungkin berlebih. Terkadang, aku tidak menunjukkannya. Terkadang, aku menutupinya. Dan terkadang, tidak semua bisa memahami niat baikku itu. Salah satunya kamu.

Kamu tidak pernah memandangku dengan tatapan sinis, tetapi kamu menghindariku. Itu bahkan lebih menyakitkan. Belum sempat aku berkata-kata, kamu sudah menghilang. Kamu tidak pernah menghiraukanku. Tahukah kamu betapa menyakitkannya itu? Mungkin akan jauh lebih menyakitkan apabila kamu memakiku. Kenyataannya, kamu tidak pernah melakukannya. Atau belum?

Kamu memang tidak memakiku, tidak menyerukan kata-kata yang menyakitkan, tapi bagiku, apa yang kamu lakukan terasa sama saja. Apa yang tidak kamu katakan secara langsung sering membuatku bertanya-tanya: apa salahku? Apa kamu membenciku? Aku memang bukan kupu-kupu yang indah, tidak pula bidadari,  tapi tentu lah aku tidak seburuk itu hingga semua membenciku. Lalu, mengapa kamu dengan begitu mudahnya membenciku? Atau itu bukan benci, melainkan sesuatu yang lain, yang bahkan kamu sendiri tidak tahu.

Aku tetap bertahan, meski pun aku sudah menemukan kata yang tepat untuk seluruh sikapmu kepadaku: jahat. Bukan seperti jahatnya ibu tiri di cerita rakyat atau jahatnya penyihir di dongeng. Suatu kali, aku menemukan diriku menangis menyadari perlakuan jahatmu, tetapi aku bisa apa? Setiap kata yang aku serukan tidak kau gubris. Mungkin bagimu, aku seperti lebah menjengkelkan yang terbang di sekitarmu. Dengungku memekakkan pendengaranmu. Kehadiranku mengusik hidupmu. Seperti lebah, aku datang tiba-tiba, mencoba menarik perhatianmu. Semakin kau menyerang, semakin aku bertahan lama di sisimu. Lalu, ketika akhirnya kamu lelah menyerang dan memilih untuk diam, maka sang lebah itu pun pergi dengan sendirinya. Itulah yang kini terjadi. 

Part 1—Sesuatu yang Harus Dilepas


Pagi ini aku terbangun dengan satu keyakinan: aku harus melepasnya. Mungkin bukan keyakinan, karena sampai detik ini, aku masih belum yakin. Itu hanya muncul begitu saja, naik dari alam bawah sadarku ke permukaan dan aku menyadarinya ketika aku terbangun dari mimpi-mimpi suramku sepanjang pekan ini. Apakah ini memang suatu keyakinan yang menjadi keputusan, atau keraguan yang menjadi tameng untuk kabur? 

Aku membasuh wajahku, menghadapnya tanpa berkata-katatidak mudah untuk bekata-kata ketika benakmu dipenuhi berbagai hal yang sulit kau kelola, dan lagipula, ia tahu betul apa yang kupikirkan tanpa perlu kukatakanlalu duduk diam. Mungkin aku memang harus melepasnya, si mimpi-mimpi indah itu. Bahkan sekarang sudah tidak lagi terasa indah. Jika aku harus mengubur, lebih baik aku mengubur itu dari sekarang.

Aku harus melupakan mimpiku untuk menempuh jenjang yang lebih tinggi di belahan Bumi yang lain. Omong-omong, ini penting bagiku: menulis Bumi dengan awalan kapital. Aku melakukannya dengan benar karena aku berasal dari tempat di mana aku sudah seharusnya mengetahui bahwa nama objek langit ditulis dengan awalan kapital.

Kembali lagi. Aku harus melupakan keinginan itu. Mungkin keinginan itu hanya sebatas hasrat sesaat, yang nantinya akan menguap seperti air di tubuhmu selepas kau mandi. Air itu akan tetap di sana, namun akhirnya akan menguap tanpa perlu kau usapkan handuk. Tetapi, toh kau tetap mengusapkan handuk di tubuhmu. Seperti itu lah yang aku lakukan. Aku hanya mempercepat prosesnya.


bersambung