Pilihan
keduaku bukan ketika memilih sekolah menengah pertama, tetapi ketika aku dengan
berani memilih sekolah menengah atas yang berbeda dari pilihan semua orang.
Saat itu aku sudah bukan si nomor satu, tetapi aku bersama seseorang yang
sedikit kukenal selama tiga tahun kami belajar, menjadi satu-satunya lulusan
dari sekolah itu yang mendapat tempat di sekolah bergengsi itu. Sekolah yang
selalu digambarkan seorang seniorku di perguruan tinggi sebagai sekolah yang
semakin padat dipenuhi hiruk pikuk ibu kota. Dulu warnanya hijau, lalu berubah
menjadi oranye. Aku menempati urutan kedua puluh dari daftar bawah siswa yang
diterima. Nilaiku menjadi enam terbaik di sekolah lamaku, namun di sekolah
baru, nilai itu hampir menjadikanku terbuang dan terancam masuk sekolah yang
tidak aku inginkan. Itu kebanggaan
pertamaku, dengan sistem belajar yang sepenuhnya berbeda dari sekolah lain.
Di sekolah
itu, aku (kembali) mengenalnya. Itu sesuatu yang sudah kukenal dari kecil,
namun terlupakan begitu saja, terkubur di bawah tuntutan-tuntutan lain. Di
sini, science belum semaju di sana. Di sini, ada keterbatasan dana dan
peralatan. Di sini, sesuatu yang lebih mendalam dari science itu sendiri
terlupakan. Di sini, sesuatu yang terjadi di luar Bumi adalah sesuatu yang
sepenuhnya berbeda. Di sini, itu sering disalahartikan sebagai sesuatu yang
lain: ramalan.
Ketika
aku duduk di ruang itu bersama sekitar tiga puluh orang siswa, aku
menyadarinya. Belum sebulan aku belajar di sekolah itu dan di situlah aku:
mendengarkan penjelasan umum seputar olimpiade sekolah. Remaja-remaja di sini
bukanlah remaja-remaja yang beberapa bulan ke depan akan meraih indeks prestasi
di atas tiga—sudahkah
aku bilang bahwa sekolah itu memakai indeks prestasi, sesuatu yang baru
diterapkan selama setahun?—melainkan
hanya orang-orang biasa, yang entah bagaimana diminta guru mereka masing-masing
untuk menghadiri pertemuan ini. Aku tahu persis oleh siapa aku diminta dan
mengapa. Tetapi toh aku menyimpang dari ilmu fisik ke sesuatu di luar Bumi.
Hampir ketika aku menetapkan pilihan, aku dibuat dilema akan sesuatu di dalam
Bumi. Mengapa aku tidak mempelajari si bola yang tidak bundar itu saja? Tapi
toh aku tetap memilih yang lebih luas, yang saking luasnya bahkan tidak bisa
kita lihat, tak peduli seberapa jauh horizon itu membentang. Hari itu aku tahu
bahwa ketertarikanku kepada science secara umum.
Dalam
setahun, aku sudah beralih dari si bintang yang panas ke cairan yang berbahaya,
namun tetap terasa sama. Akhirnya, aku tahu
bahwa itu bukan aku: belajar sangat cepat dan sekilas, tanpa dipahami
benar-benar, tenggat waktu. Semua hanya merusak kesenangan dalam belajar. Maka,
kuputuskan itu bukan jalanku dan pergi.
Aku
menjalani kehidupan biasa sebagai siswa tanpa prestasi olimpiade dan aku
bahagia dengan itu. Mungkin karena aku tidak cukup mampu, atau seperti yang
sudah kukatakan: aku tidak mau. Hal yang kupikirkan hanyalah kehidupan masa
depan di depan komputer dan menulis, seperti yang sudah kuimpikan sejak
bertahun-tahun lalu: menjadi penulis. Sederhana, tapi bahagia. Aku terlalu naif
untuk memikirkan uang. Untuk apa anak berusia lima belas tahun memikirkan uang?
Suatu
hari, si gajah mulai terbayang-bayang di benakku. Banyak teman-temanku yang
ingin ke sana. Aku tidak pernah berpikir untuk pergi ke sana, meninggalkan ibu
kota dan jauh dari kedua orangtuaku yang setengah mati mencintaiku. Aku hanya
ingin pergi ke pinggir kota, naik kereta ke sana pada pagi hari dan pulang
dengan kereta yang sama pada sore hari. Entah apa yang merasuki hingga akhirnya
aku ingin ke sana. Beberapa kali kusebutkan, namun orangtuaku belum menganggap
serius. Mungkin mereka tidak mendengar, atau mereka takut sang bunga akan pergi
jauh?
Aku
melihatnya lagi, di dalam jiwa si gajah. Gajah itu hanya satu di dunia itu, dan
di negara dengan banyak pulau, bagian itu hanya ada satu dan itu ada di dalam
jiwa si gajah. Aku, yang sudah dari setahun yang lalu mencintai si gajah,
semakin berniat mendatanginya karena bagian itu. Bahkan, di cakupan yang lebih
luas, di bagian tenggara, hanya di negara ini lah. Aku semakin memantapkan
pilihanku.
Tidak
mudah untuk ke sana. Nilaiku hanya rata-rata, dengan indeks prestasi kumulatif
tiga koma nol sekian. Harapanku adalah jalur tanpa ujian, tapi cukupkah nilaiku
selama tiga tahun itu? Belum beres kekhawatiranku, ada yang lain. Sudah dua
tahun alat kehidupan yang sebenarnya dikendalikan manusia namun bisa menjadi
pengendali manusia, tidak bersikap baik dengan kami. Dia tidak bergerombol
seperti sebelumnya, karena kata ibuku, roda itu berputar. Sampai bertahun-tahun
kemudian aku terus mengingatnya: roda berputar. Dulu mungkin lebih mudah bagiku
untuk mendapatkan apa yang aku mau karena si pengendali itu berpihak kepada
kami. Bagaimana aku akan melanjutkan?
Dua
hal itu mulai tidak menyeramkan lagi ketika akhirnya solusi makin tampak. Tapi
itu tidak mudah, dan di tengah kekalutan itu semua, aku hampir kehilangan semua
berkas untuk pendaftaran ulang. Berkas itu hampir saja dibakar di depan mataku.
Ada
yang bilang, sesuatu yang indah dimulai dengan hal-hal mengerikan. Kurasa aku
percaya akan hal itu, karena setelah rentetan hal mengerikan, aku menyongsong
keindahan. Tempat itu begitu indah, seperti magik. Entah aku salah ingat atau
bagaimana, tetapi seingatku, gajah memang magis. Ingatan gajah kuat, sekuat ia
menahan memori perjalanan, menyerap dan memahami ilmu, kehidupan dan jalinan.
Sekali lagi, aku memilih yang tidak biasa. Debu-debu yang bukan debu-debu dalam
bentangan luas alam semesta, di dalam dekapan sang gajah. Mereka mencibirku
akan pilihanku, untuk apa kau mencoba
mengenali titik titik cahaya di langit itu?
Aku, si gadis keras kepala yang tuli. Seingatku, dari dulu aku tidak pernah mempedulikan omongan orang. Aku menjalani hidupku dengan pilihan-pilihanku. Untuk apa mereka memusingkanku?
bersambung