Tuesday, 13 January 2015

Part 6—Masih Menunggu

Aku mungkin belum memutuskan, tetapi akan memutuskan untuk melepas mimpi itu dan memulai hidup baru, tentunya setelah aku lolos dari lilitan si gajah. Kukatakan bahwa kekhawatiranku pagi ini ialah nasib seperti mereka, tetapi kucoba untuk mengenyahkannya. Meskipun ini berbeda dari mimpiku itu, tetapi ini tetap saja bisa terhambat oleh meja registrasi. Dan lagi-lagi itu disebabkan oleh kekecauan yang kubuat. Anggaplah aku lolos dan mendapatkannya, lalu memulai kembali kehidupan di ibukota, bersama orang-orang yang seumur hidup bersamaku. Tidak buruk, bukan? Pada akhirnya aku tidak hanya melepas mimpi untuk pergi ke benua lain, tapi melepas mimpi untuk menetap di kota tempat sang gajah bernaung. Tetapi sekali lagi, itu tidak buruk, kan?

Kawan, kau pikir habis perkara? Tidak. Aku masih harus melewati satu proses yang tertulis singkat namun terasa panjang. Sebenarnya aku begitu semangat untuk hal itu, membayangkan aku akan membenamkan diriku di antara indahnya bagaimana sesuatu bergerak dan terganggu, dan itu disebabkan oleh sesuatu yang lain, namun, aku belum mencapai itu. Bahkan hanya tinggal sedikit lagi dan aku merasa bahwa ini bahkan lebih sulit dari yang sudah-sudah. Pada akhirnya ini seperti mendukung pemikiran untuk melepas mimpiku. Bahwa yang terpenting adalah meloloskan diri dari belitan si gajah dan pergi jauh. Sangat bertolak belakang dengan mimpi semula yang ingin menikmati setiap proses dan melanjutkan ke tempat yang jauh.

Aku ingat ketika seorang seniorku berkata, dan kau masih berjuang di kandang gajah. Seingatku, kami berlima, dan aku yang terakhir. Aku merasa terasing oleh fakta bahwa mereka sudah lepas dari belitan si gajah, meskipun satu di antaranya dengan cara yang lain. Tapi dia salah satu orang yang aku kagumi. Jujur, mungkin aku tidak akan pernah bisa mengambil keputusan berani seperti keputusan yang pernah ia ambil, terlepas ia menyesalinya atau tidak.

Berjuang, ya, aku masih berjuang. Ada sisi lain dalam diriku yang ingin minta diselamatkan, padahal seumur hidup aku mencibir bagaimana perempuan dalam dongeng diselamatkan. Kau harus menyelamatkan dirimu sendiri, teriakku, seolah si perempuan bisa mendengarku. Bagaimana pun, aku sekarang tergoda, yang mungkin beberapa saat dari sekarang sudah tidak akan mempertimbangkan itu lagi. Bayangkan, aku hanya perlu melakukan usaha terakhirku dan begitu aku lolos, aku bisa menyongsong yang baru, dan ketika semua tidak menjadi lebih baik dan semua ketidakpastian membaur menjadi sesuatu yang pasti, aku sudah menjadi orang lain. Peran yang kumainkan sudah bertambah dan aku sudah menjadi tanggungjawab orang lain, yang semula tanggungjawab orangtuaku, tanpa melewati tahap aku bertanggungjawab akan diriku sendiri. Tetapi, apakah itu yang aku inginkan?


Bersambung dan tidak tahu akan berlanjut ke mana...

No comments:

Post a Comment