Aku
selalu memimpikannya: keindahan belahan Bumi yang lain, suasana yang sepenuhnya
berbeda, haus akan ilmu, semangat belajar akan semua hal, pesona ketidaktahuan
yang menunggu untuk diselami. Bertahun-tahun aku memimpikannya, hingga akhirnya
setahun yang lalu, semua semakin jelas: ke mana tujuannya, apa yang aku
inginkan, bagaimana dan apa yang kucari.
Biar
kuperjelas. Sejak dulu, aku suka belajar. Aku ingin tahu semua hal. Rasa ingin
tahuku cukup besar walaupun tidak sebesar ketika aku masih di sekolah menengah.
Banyak hal yang menguapkan rasa ingin tahuku, juga semua kemampuanku, termasuk
kemampuan bermimpi, dan semangatku. Semenjak itu, performaku berkurang. Aku
bukan lagi si nomor satu, bukan lagi anak yang selalu dibicarakan oleh ibu-ibu
yang berharap memiliki anak sepertiku, tapi apa peduliku? Bertahun-tahun
setelah itu, aku tetap menjadi bahan pembicaran mereka yang menganggapku hebat
sedari kecil, tapi aku bukannya bangga. Aku malah takut, takut karena aku tahu
betapa kelirunya mereka akan diriku. Aku seperti pemain teater yang takut
mengecewakan penonton, jadi kubiarkan saja mereka hidup dengan fantasi mereka
tentang diriku. Kubiarkan hanya aku yang bisa mendengar jeritanku.
Aku
bukan seorang penetap sejati. Mungkin ambivalensi atau ambivert itu bisa
menjelaskan. Aku suka berada dalam istana yang kuciptakan sendiri, tapi jangan
harap aku akan bertahan lama. Bukan, bukan, jangan berpikiran seperti itu. Aku
tidak meninggalkan tempat itu. Aku memperluas sendiri istanaku. Hanya aku yang
bisa melihatnya. Mungkin ini yang akhirnya menjelaskan tentang
pilihan-pilihanku. Aku memilih yang kebetulan sangat sedikit dipilih oleh orang
lain. Aku tidak mengikuti arus. Mungkinkah selera ku yang berbeda, atau aku
hanya menikmati kesendirianku saja?
Pilihan
pertamaku saat aku menolak dengan keras untuk kembali bermain di Taman
Kanak-Kanak. Aku sudah satu tahun di sana dan aku sudah bosan! Tapi mereka
berkata, umurku tidak cukup untuk memasuki dunia itu, dunia di mana aku
akhirnya bisa mempelajari kata-kata, memakai seragam yang sama dengan bendera
negeri ini, mempunyai lebih banyak teman dan segudang hal berarti yang bisa
kulakukan selain menyanyi, menggambar, mewarnai dan bermain. Maksudku, bukan
berarti bermain dan kegiatan motorik tidak penting, hanya saja aku si bocah
berumur lima tahun yang menurunkan sifat keras kepala dari ayahnya, merasa
sudah cukup untuk itu. Cukup satu tahun, kataku keras kepala.
Orangtuaku yang
sudah pusing dengan berbagai coretan di dinding rumah dan buku-buku yang
sebetulnya tidak boleh kucoret di situ, mencari jalan keluarnya. Setahun sebelumnya mereka mencari jalan keluarnya dengan memasukkan aku ke Taman Kanak-Kanak
dan saat itu, ketika aku menolak kembali ke sana dan semakin banyaknya
tulisan-tulisan—sudah
bukan coretan tidak berarti—mereka
tetap mengantarkanku ke bangunan dengan cat seperti bendera negera ini.
Antriannya cukup panjang. Aku melihat sebagian besar temanku di Taman
Kanak-Kanak mendaftar di sekolah itu. Aku tidak begitu memperhatikan mereka karena
aku sibuk mengeja setiap kata yang aku lihat selagi aku menunggu giliran
dipanggil. Aku dites. Tidak ada masalah. Lalu, umurku masih menjadi kendala.
Apakah segala sesuatu dibatasi oleh umur? Bagaimana sesuatu yang sesuai
rata-rata ditetapkan sebagai aturan? Bagaimana pun, aku lolos hari itu. Dan aku
bangga karena beberapa tahun kemudian, aku tahu bahwa banyak orang sepertiku
yang lolos. Tetapi, hari itu aku lolos dengan masa percobaan. Tiga bulan dan
aku tidak perlu berusaha terlalu keras. Aku hanya menjalani seperti aku di
Taman Kanak-Kanak dan tiba-tiba aku sudah menjadi si nomor 1.
bersambung
No comments:
Post a Comment