Tuesday, 13 January 2015

Part 2—Si Nomor Satu

Aku selalu memimpikannya: keindahan belahan Bumi yang lain, suasana yang sepenuhnya berbeda, haus akan ilmu, semangat belajar akan semua hal, pesona ketidaktahuan yang menunggu untuk diselami. Bertahun-tahun aku memimpikannya, hingga akhirnya setahun yang lalu, semua semakin jelas: ke mana tujuannya, apa yang aku inginkan, bagaimana dan apa yang kucari.

Biar kuperjelas. Sejak dulu, aku suka belajar. Aku ingin tahu semua hal. Rasa ingin tahuku cukup besar walaupun tidak sebesar ketika aku masih di sekolah menengah. Banyak hal yang menguapkan rasa ingin tahuku, juga semua kemampuanku, termasuk kemampuan bermimpi, dan semangatku. Semenjak itu, performaku berkurang. Aku bukan lagi si nomor satu, bukan lagi anak yang selalu dibicarakan oleh ibu-ibu yang berharap memiliki anak sepertiku, tapi apa peduliku? Bertahun-tahun setelah itu, aku tetap menjadi bahan pembicaran mereka yang menganggapku hebat sedari kecil, tapi aku bukannya bangga. Aku malah takut, takut karena aku tahu betapa kelirunya mereka akan diriku. Aku seperti pemain teater yang takut mengecewakan penonton, jadi kubiarkan saja mereka hidup dengan fantasi mereka tentang diriku. Kubiarkan hanya aku yang bisa mendengar jeritanku.

Aku bukan seorang penetap sejati. Mungkin ambivalensi atau ambivert itu bisa menjelaskan. Aku suka berada dalam istana yang kuciptakan sendiri, tapi jangan harap aku akan bertahan lama. Bukan, bukan, jangan berpikiran seperti itu. Aku tidak meninggalkan tempat itu. Aku memperluas sendiri istanaku. Hanya aku yang bisa melihatnya. Mungkin ini yang akhirnya menjelaskan tentang pilihan-pilihanku. Aku memilih yang kebetulan sangat sedikit dipilih oleh orang lain. Aku tidak mengikuti arus. Mungkinkah selera ku yang berbeda, atau aku hanya menikmati kesendirianku saja? 

Pilihan pertamaku saat aku menolak dengan keras untuk kembali bermain di Taman Kanak-Kanak. Aku sudah satu tahun di sana dan aku sudah bosan! Tapi mereka berkata, umurku tidak cukup untuk memasuki dunia itu, dunia di mana aku akhirnya bisa mempelajari kata-kata, memakai seragam yang sama dengan bendera negeri ini, mempunyai lebih banyak teman dan segudang hal berarti yang bisa kulakukan selain menyanyi, menggambar, mewarnai dan bermain. Maksudku, bukan berarti bermain dan kegiatan motorik tidak penting, hanya saja aku si bocah berumur lima tahun yang menurunkan sifat keras kepala dari ayahnya, merasa sudah cukup untuk itu. Cukup satu tahun, kataku keras kepala. 

Orangtuaku yang sudah pusing dengan berbagai coretan di dinding rumah dan buku-buku yang sebetulnya tidak boleh kucoret di situ, mencari jalan keluarnya. Setahun sebelumnya mereka mencari jalan keluarnya dengan memasukkan aku ke Taman Kanak-Kanak dan saat itu, ketika aku menolak kembali ke sana dan semakin banyaknya tulisan-tulisansudah bukan coretan tidak berartimereka tetap mengantarkanku ke bangunan dengan cat seperti bendera negera ini. Antriannya cukup panjang. Aku melihat sebagian besar temanku di Taman Kanak-Kanak mendaftar di sekolah itu. Aku tidak begitu memperhatikan mereka karena aku sibuk mengeja setiap kata yang aku lihat selagi aku menunggu giliran dipanggil. Aku dites. Tidak ada masalah. Lalu, umurku masih menjadi kendala. Apakah segala sesuatu dibatasi oleh umur? Bagaimana sesuatu yang sesuai rata-rata ditetapkan sebagai aturan? Bagaimana pun, aku lolos hari itu. Dan aku bangga karena beberapa tahun kemudian, aku tahu bahwa banyak orang sepertiku yang lolos. Tetapi, hari itu aku lolos dengan masa percobaan. Tiga bulan dan aku tidak perlu berusaha terlalu keras. Aku hanya menjalani seperti aku di Taman Kanak-Kanak dan tiba-tiba aku sudah menjadi si nomor 1.


bersambung 

No comments:

Post a Comment