Tuesday, 13 January 2015

Part 3—Hadirnya si Gajah

Pilihan keduaku bukan ketika memilih sekolah menengah pertama, tetapi ketika aku dengan berani memilih sekolah menengah atas yang berbeda dari pilihan semua orang. Saat itu aku sudah bukan si nomor satu, tetapi aku bersama seseorang yang sedikit kukenal selama tiga tahun kami belajar, menjadi satu-satunya lulusan dari sekolah itu yang mendapat tempat di sekolah bergengsi itu. Sekolah yang selalu digambarkan seorang seniorku di perguruan tinggi sebagai sekolah yang semakin padat dipenuhi hiruk pikuk ibu kota. Dulu warnanya hijau, lalu berubah menjadi oranye. Aku menempati urutan kedua puluh dari daftar bawah siswa yang diterima. Nilaiku menjadi enam terbaik di sekolah lamaku, namun di sekolah baru, nilai itu hampir menjadikanku terbuang dan terancam masuk sekolah yang tidak aku inginkan. Itu kebanggaan pertamaku, dengan sistem belajar yang sepenuhnya berbeda dari sekolah lain.

Di sekolah itu, aku (kembali) mengenalnya. Itu sesuatu yang sudah kukenal dari kecil, namun terlupakan begitu saja, terkubur di bawah tuntutan-tuntutan lain. Di sini, science belum semaju di sana. Di sini, ada keterbatasan dana dan peralatan. Di sini, sesuatu yang lebih mendalam dari science itu sendiri terlupakan. Di sini, sesuatu yang terjadi di luar Bumi adalah sesuatu yang sepenuhnya berbeda. Di sini, itu sering disalahartikan sebagai sesuatu yang lain: ramalan.

Ketika aku duduk di ruang itu bersama sekitar tiga puluh orang siswa, aku menyadarinya. Belum sebulan aku belajar di sekolah itu dan di situlah aku: mendengarkan penjelasan umum seputar olimpiade sekolah. Remaja-remaja di sini bukanlah remaja-remaja yang beberapa bulan ke depan akan meraih indeks prestasi di atas tigasudahkah aku bilang bahwa sekolah itu memakai indeks prestasi, sesuatu yang baru diterapkan selama setahun?melainkan hanya orang-orang biasa, yang entah bagaimana diminta guru mereka masing-masing untuk menghadiri pertemuan ini. Aku tahu persis oleh siapa aku diminta dan mengapa. Tetapi toh aku menyimpang dari ilmu fisik ke sesuatu di luar Bumi. Hampir ketika aku menetapkan pilihan, aku dibuat dilema akan sesuatu di dalam Bumi. Mengapa aku tidak mempelajari si bola yang tidak bundar itu saja? Tapi toh aku tetap memilih yang lebih luas, yang saking luasnya bahkan tidak bisa kita lihat, tak peduli seberapa jauh horizon itu membentang. Hari itu aku tahu bahwa ketertarikanku kepada science secara umum.

Dalam setahun, aku sudah beralih dari si bintang yang panas ke cairan yang berbahaya, namun tetap terasa sama.  Akhirnya, aku tahu bahwa itu bukan aku: belajar sangat cepat dan sekilas, tanpa dipahami benar-benar, tenggat waktu. Semua hanya merusak kesenangan dalam belajar. Maka, kuputuskan itu bukan jalanku dan pergi.

Aku menjalani kehidupan biasa sebagai siswa tanpa prestasi olimpiade dan aku bahagia dengan itu. Mungkin karena aku tidak cukup mampu, atau seperti yang sudah kukatakan: aku tidak mau. Hal yang kupikirkan hanyalah kehidupan masa depan di depan komputer dan menulis, seperti yang sudah kuimpikan sejak bertahun-tahun lalu: menjadi penulis. Sederhana, tapi bahagia. Aku terlalu naif untuk memikirkan uang. Untuk apa anak berusia lima belas tahun memikirkan uang?

Suatu hari, si gajah mulai terbayang-bayang di benakku. Banyak teman-temanku yang ingin ke sana. Aku tidak pernah berpikir untuk pergi ke sana, meninggalkan ibu kota dan jauh dari kedua orangtuaku yang setengah mati mencintaiku. Aku hanya ingin pergi ke pinggir kota, naik kereta ke sana pada pagi hari dan pulang dengan kereta yang sama pada sore hari. Entah apa yang merasuki hingga akhirnya aku ingin ke sana. Beberapa kali kusebutkan, namun orangtuaku belum menganggap serius. Mungkin mereka tidak mendengar, atau mereka takut sang bunga akan pergi jauh?

Aku melihatnya lagi, di dalam jiwa si gajah. Gajah itu hanya satu di dunia itu, dan di negara dengan banyak pulau, bagian itu hanya ada satu dan itu ada di dalam jiwa si gajah. Aku, yang sudah dari setahun yang lalu mencintai si gajah, semakin berniat mendatanginya karena bagian itu. Bahkan, di cakupan yang lebih luas, di bagian tenggara, hanya di negara ini lah. Aku semakin memantapkan pilihanku.

Tidak mudah untuk ke sana. Nilaiku hanya rata-rata, dengan indeks prestasi kumulatif tiga koma nol sekian. Harapanku adalah jalur tanpa ujian, tapi cukupkah nilaiku selama tiga tahun itu? Belum beres kekhawatiranku, ada yang lain. Sudah dua tahun alat kehidupan yang sebenarnya dikendalikan manusia namun bisa menjadi pengendali manusia, tidak bersikap baik dengan kami. Dia tidak bergerombol seperti sebelumnya, karena kata ibuku, roda itu berputar. Sampai bertahun-tahun kemudian aku terus mengingatnya: roda berputar. Dulu mungkin lebih mudah bagiku untuk mendapatkan apa yang aku mau karena si pengendali itu berpihak kepada kami. Bagaimana aku akan melanjutkan?

Dua hal itu mulai tidak menyeramkan lagi ketika akhirnya solusi makin tampak. Tapi itu tidak mudah, dan di tengah kekalutan itu semua, aku hampir kehilangan semua berkas untuk pendaftaran ulang. Berkas itu hampir saja dibakar di depan mataku.

Ada yang bilang, sesuatu yang indah dimulai dengan hal-hal mengerikan. Kurasa aku percaya akan hal itu, karena setelah rentetan hal mengerikan, aku menyongsong keindahan. Tempat itu begitu indah, seperti magik. Entah aku salah ingat atau bagaimana, tetapi seingatku, gajah memang magis. Ingatan gajah kuat, sekuat ia menahan memori perjalanan, menyerap dan memahami ilmu, kehidupan dan jalinan. Sekali lagi, aku memilih yang tidak biasa. Debu-debu yang bukan debu-debu dalam bentangan luas alam semesta, di dalam dekapan sang gajah. Mereka mencibirku akan pilihanku, untuk apa kau mencoba mengenali titik titik cahaya di langit itu?

Aku, si gadis keras kepala yang tuli. Seingatku, dari dulu aku tidak pernah mempedulikan omongan orang. Aku menjalani hidupku dengan pilihan-pilihanku. Untuk apa mereka memusingkanku?

bersambung

No comments:

Post a Comment