Kawan,
ternyata tidak semudah itu. Gajah itu tidak terlihat jinak memang, tapi awalnya
kupikir ia berbelas kasih. Tidak. Ia kejam. Jika kau lemah, maka tamat riwayatmu. Kuceritakan lagi agar kau lebih bisa memahami, mungkin.
Ketika
aku berumur enam belas, aku merubah sedikit mimpi sederhanaku, yang tadinya
sebatas menuangkan segalanya dalam bentuk tulisan, menjadi mimpi yang lebih
lagi, namun masih sederhana. Aku hanya ingin mengerjakan sesuatu dengan target
tertentu, dan perjalanan, proses serta hasilnya aku tuliskan dan publikasikan.
Suatu pekerjaan yang menurut bayanganku tidak menuntut banyak waktu, di mana
aku tetap bisa di rumah mengurus keluarga yang entah kapan akan aku bangun, dan
aku tetap bisa menulis buku lain. Saat itu, si gadis berumur enam belas tahun,
dengan naifnya berpikir untuk empat tahun bersama si gajah dan mempelajari alam
semesta, dua tahun berikutnya di tempat di dekat si gajah untuk mempelajari
manusia. Manusia selalu menarik perhatianku dan aku ingin mempelajari sesuatu
yang bisa membantu.
Setahun
kemudian, ketika aku belum mengenal si gajah, aku terpesona oleh keindahan yang
bahkan tidak bisa dilihat langsung. Aku berpikir untuk ke negara yang dulu
menjajah negara ini, dan mau tidak mau aku teringat perkataanku ketika sepupuku
yang cantik dan baik hati mengatakan bahwa ia ingin mempelajari sastra bangsa yang
pernah menjajah Ibu Pertiwi. Saat itu aku masih berumur tiga belas tahun dan
belum mengerti bahwa sesuatu yang sudah berlalu menjadi sejarah jika itu
bermakna dan ketika seseorang menginjak kakimu di angkutan umum, itu menjadi
hal yang bahkan sangat tidak berarti untuk kau ingat atau kenang sebagai
sejarah.
Aku
ingin ke sana, melihat orang-orang yang warna kulitnya jauh lebih terang dari
warna kulitku. Aku ingat sewaktu kecil banyak yang mengira aku anak kebangsaan
lain karena warna kulit dan bentuk mataku, tapi toh seiring aku tumbuh, aku
menjadi orang yang tidak perlu diragukan lagi kebangsaannya.
Waktu berlalu dan aku mulai kehilangan minat dengan sesuatu yang tidak bisa aku lihat. Aku bahkan tidak bisa merasakannya. Aku tetap ingin ke negara itu, tetapi ingin belajar yang lain. Aku muak dengan semua hal yang terasa membelenggu, kaku dan tidak indah. Jangan salah paham. Aku memang si perfeksionis penyuka aturan dan keteraturan, senang membuang-buang waktu untuk menganalisis yang tidak penting, tetapi aku mudah bosan dan tidak suka ketika terlalu dikungkung. Tetapi aku sadar bahwa aku menilai dari sudut pandang yang berbeda, bahwa aku tidak salah pilih dan aku hanya jenuh, itu saja. Aku selalu jenuh, tapi aku selalu berhasil kembali tanpa kehilangan apa pun.
Aku menemukan lenteraku yang hampir mati. Tapi aku tetap hilang arah. Aku bahkan tidak bisa pergi ke suatu tempat yang baru aku kunjungi sekali dengan cara yang berbeda. Butuh dua kali aku menyusuri jalan yang sama dengan kendaraan yang sama. Pada akhirnya, aku bisa sendiri menemukan jalan pulang ke tempat tinggalku atau menemukan tempat temanku. Mungkin karena aku terbiasa menjalankannya sendiri. Aku selalu memutuskan sendiri, sebab aku terbiasa diperbolehkan memilih sesuai keinginanku. Tetapi, kali ini aku membutuhkan petunjuk. Mungkin bimbingan. Maka, aku kembali menemukan arahku dengan bantuan orang lain. Aku melihat punggungnya dan mengikutinya. Bagaimana pun aku tidak bisa menyusulnya. Belum.
Ketika aku akhirnya bisa menyusulnya, aku berbicara kepadanya. Cukup lama hingga akhirnya aku kembali ke jalanku lagi. Sebelum aku berbelok, aku sempat bertanya kepadanya. Aku bisa merasakan akan ada persimpangan di ujung jalan, bisakah membantuku memilih? Setelah simpang itu, akan ada jalan terjal, bisakah membantuku? Aku berbelok, menyusuri jalanku dengan lega dan tenang. Aku sendirian, tapi bila saatnya tiba, orang itu akan membantuku. Tidak sampai akhir, tetapi suatu akhir yang kecil. Sesuatu yang masih dalam batas kemampuannya.
Semua
membaik dan aku mulai dimanjakan oleh mimpi-mimpi yang melenakan. Aku melihat
kembali tempat di mana ada menara yang paling romantis di seluruh dunia, tempat
yang sudah dari dulu ingin kukunjungi
dan mungkin belajar keindahan yang sebenarnya di sana. Tetapi, aku merasakan
dorongan lain saat aku melihat gambaran di tempat aku akan bekerja di masa
depan. Tempat itu terlihat sempurna bagiku, ada di negara bagian, di lingkup
yang lebih besar dan lebih jauh dari tempat romantis itu.
Aku
membuat daftar kemungkinan aku bisa ke sana, yang tentunya menjadi suatu uraian
panjang tiada akhir. Ketika menulis daftar tidak menjadi lebih baik, aku
meninggalkan daftar itu dan singgah di penyesalan akan semua kekacauan yang aku
buat. Betapa menyakitkan fakta bahwa saat kau membuat kekacauan, kau sangat
menikmatinya dan bertahun kemudian kau akan menyesalinya. Di tengah
penyusunanku, aku terhambat oleh restu. Pendidikan penting, tapi perempuan?
Haruskah perempuan menganyamnya sampai setinggi itu? Tidakkah itu terlalu lama
sebelum akhirnya perempuan kembali ke kodratnya?
Kembali ke masa ini. Kubuat lebih sederhana untukmu: aku belum memulai tahap untuk menyelesaikan sekolahku dan akan terlambat —yang dengan naif dihitung empat tahun oleh si gadis berumur enam belas tahun—tetapi toh terlambat beberapa bulan sudah tidak menjadi masalah bagiku. Aku hanya belum siap jika itu menjadi lebih terlambat lagi, dan semoga tidak—aku akan berjuang untuk mencapainya.
bersambung
No comments:
Post a Comment