Thursday, 26 January 2017

Notice Me, S

Kantung mataku terlihat hitam lagi pagi ini. Kalau kubilang kaulah alasannya, apakah itu berlebihan? Bukan, bukan. Aku tidak bermaksud menyalahkanmu. Bagaimana bisa aku menyalahkanmu, sementara kau bahkan tidak mengenalku?

Aku terjaga sepanjang malam. Memikirkanmu. Mengingat senyummu. Mengingat tatapanmu. Mengingat caramu berjalan seolah dunia ini milikmu. Tapi ketahuilah, dunia ini memang milikmu. Dan aku ada di dalamnya.

Sedih. Ya, sedih. Aku hanya bisa melihatmu dari kejauhan. Tidak. Jarak itu relatif. Aku bisa mengatakan jauh, padahal kita dekat. Aku bisa mengatakan dekat, padahal jauh. Terserah padaku. Ini buku harianku.

Jauh. Kupikir memang jauh. Jauh di mata, jauh di hati. Sekalipun fisik kita dekat, tapi tetap saja jauh. Karena kau tidak pernah memandangku. Kau tidak pernah melihatku. Kau tidak tahu bahwa aku ada.

Adakah cara agar kau melihatku? Agar kau menyadari keberadaanku? Tak ingin kukatakan bahwa aku lelah hanya melihatmu dari kejauhan, karena sejujurnya, melihatmu membuatku merasa bahagia. Aku berpikir mungkin lebih baik seperti ini daripada aku mencoba mendekati dan tertarik semakin jauh oleh gravitasimu dan hancur ketika aku tidak kuasa menahannya. Aku takut melihat sesuatu yang tidak aku suka. Aku takut sakit.

Tapi, kita memang diciptakan dengan hasrat, bukan? Dan aku ingin mendekat. Ingin melihatmu. Dan ingin kau melihatku. Ingin kau menyadari keberadaanku. Itu saja. Itu dulu. Bisakah?

Just, please. Notice me, S.









Not an initial

Tuesday, 24 January 2017

Jangan Mati

Dulu, bertahun yang lalu, kau membuat kesalahan
Kau matikan indra pendengaranmu
Kau matikan indra penglihatanmu
Kau abaikan semua perkatakan orang
Kau abaikan permintaan dari orang-orang yang kau kasihi

Lalu, kau menyesal
Aku bukanlah peri baik hati
Aku puas ketika kau menyadari kesalahanmu
Ketika kau sadar aku benar
Aku seperti kawan sekaligus musuhmu

Tapi aku bukan musuhmu
Aku bukan orang paling penting dalam hidupmu
Aku menolak pergi dari kehidupanmu
Aku ingin melihatmu bangkit
Tapi sebenarnya, aku adalah peri jahat dalam rupa gadis kecil
Hanya saja, aku tidak pernah berniat menyakitimu
Melukaimu
Meninggalkanmu
Aku jahat dengan caraku sendiri

Sekarang, sesuatu yang buruk kembali menimpamu
Sangat sangat buruk
Seolah semua yang telah terjadi selama ini belum cukup menimpamu bertubi-tubi
Aku adalah si jahat yang mengatakan kepadamu bahwa semua akan berlalu
Aku adalah si jahat yang mengatakan kepadamu bahwa kau boleh berkabung
Aku adalah si jahat yang mengatakan kepadamu bahwa kau harus bangkit

Aku tidak menyumpahi dia yang berbuat jahat kepadamu
Aku tidak membenarkan tindakannya
Tidak pula memakluminya
Aku hanya mengatakan bahwa dunia ini tidak adil
Tidak akan pernah adil
Kita harus menerima kenyataan itu

Jadi, mampukah kau untuk bangkit sekali lagi?
Mampukah kau bertahan meskipun aku tidak ada di sisimu sekarang?
Mampukah kau pergi untuk kembali?
Mampukah kau menyusun kembali hidupmu yang dihancurkan oleh seorang tidak bertanggungjawab yang berpikiran sangat sempit?

Dan tolong, jangan mati
Jangan membunuh dirimu
Karena aku adalah satu dari sekian orang yang akan menangisimu, tapi mungkin aku tidak bisa pergi ke pemakamanmu
Jadi, kumohon, tetaplah bertahan

Friday, 13 January 2017

today was not my day: anti klimaks

Setelah beberapa hari tidak kunjung aktif, akhirnya gue kembali ke galeri itu. Rencana gue buat numpang opang langganan nyokap harus kandas karena doi ditelepon ga jawab-jawab. Feeling kami sih doi lagi molor. Akhirnya, gue bawa ponsel nyokap dan naik ojek online. Setelah pegal bertengger lama di atas jok motor karena macet parah, gue akhirnya sampai di lokasi tujuan. Beberapa meter menjauh dari abangnya, si abang teriak manggil gue. Ternyata abangnya berusaha ngasih tau ada plastik nyempil di antara kaki dan sepatu gue dan dia kewer-kewer ketika gue jalan. Thank to abang ojek karena sukses menyelamatkan gue dari rasa malu. Tapi, masih ada rasa malu yang lain. Nanti gue sampai pada bagian itu. 

Gue langsung diarahkan ke bagian customer service. Ga nunggu lama. Lalu gue bingung ketika nomer antrian gue disebut karena gue ga bisa baca nomer konternya. Tapi ada satu mas-mas berdiri di belakang meja dan gue nyamperin dia. Gue kenalan (dan sekarang gue lupa namanya saking ga fokusnya). Another Mas Kece, tapi bukan karena ini ga fokusnya. Gue ga begitu fokus karena capek dan baru banget nyampe. Jalan cepet-cepet. 

Mas yang ini juga ramah dan friendly, tapi jauh lebih friendly. Dan supel. Lewat doi gue akhirnya tau kalo rambut gue berantakan. Doi nanya gue abis lari atau gimana dan gue jawab abis naik ojek. Dia manggut-manggut. Dia nanya masalahnya apa dan gue jawab, "ceritanya panjang sih," dan langsung ditanggepin dengan antusias, "boleh cerita dulu kalo gitu." Gue lega banget. Gue udah gatel selama berhari-hari pengen cerita ke orang (gue sempat cerita ke ijen di hari kejadian). Gue cerita ke masnya tentang simcard itu tapi minus jatoh tengkurap dan kesusahan pulang. Waktu gue bilang mas yang dulu ketawa, dia bilang kalo dia juga pengen ketawa dengernya. 

Selesai cerita, dia nanya gue bawa kartu yang baru ga (bukan simcard). Entah kenapa gue ga bawa. Gue jawab, "engga" dan geleng-geleng. Dia balas, "Mbak polos banget sih," sambil ketawa. Ya ampun. Gincu merah tua yang gue pake dan tas dari cici yang sebenarnya buat nyokap ga mampu buat membuat gue terlihat dewasa. Sebenernya gue keliatan berumur dengan itu, tapi baju gue ada gambar huruf-huruf. Dan tampang gue bloon. Dua itu sukses mengeluarkan diri gue yang sebenarnya. 

Kami ngobrol-ngobrol sambil dia ngurus. Dia sempet nawarin paket prabayar dan setelah selesai dia promosi, gue cuma memandang dia dengan tatapan kosong yang mana sebenernya gue sadar dia nunggu respon gue. Akhirnya dia sadar dan "oke saya lanjutin ngurus ini nya." Oiya pas ngobrol, lagi-lagi dia terdistraksi sama rambut berantakan gue. Dia mempersilakan gue buat ngaca tapi gue terlalu mager buat beringsut. Trus dia pergi entah ke mana. Gue bosen nunggunya. Akhirnya gue main 2048. Lagi asik-asik main, dikagetin sama doi. Doi benar-benar memperlakukan gue kayak bocah SMA. Bahkan anak SMA jaman sekarang lebih dewasa. 

Pas mau tanda tangan, dia sempet muji kuku gue. "Kukunya bagus." Gue tersanjung. Ga pernah di manicure loh mas *kedip kedip* tapi tentu gue ga bilang gitu dan ga kedip-kedip. Pas gue nulis nama gue sempet ditanya mau jadi artis ya dan gue jawab mau jadi penulis novel. "Jadi nanti kalo saya nemu buku namanya 'meri handayani' itu berarti Mbak ya." Gue mau bilang kalau kemungkinan besar bukan itu nama yang gue pake tapi yasudahlah. Belum kesampean juga. Dan dia melontarkan satu pertanyaan lain yang sebenarnya kurang lebih agak terkait dengan alasan itu. "Ada hubungan apa sama tut wuri handayani?" Jengjengjeng.

Di akhir, gue sempet tertarik untuk daftar paket itu. Harga termurahnya sama kayak harga paket internet bulanan gue. Ketika gue mulai isi data buat daftar, gue baru ngeh harga di brosur beda sama aslinya. Dua kali lipat. Dan itu di luar kebutuhan gue juga. Entah gue yang sebelumnya ga merhatiin dan ga aware atau gimana, gue akhirnya minta cancel. Mas nya rada bete, tapi doi cukup baik dengan bersikap biasa aja. Maaf ya, Mas. Da aku mah apa atuh, bukan businesswoman yang sebulan perlu biaya segitu untuk komunikasi. Semoga mas nya ga bete dan ga kapok dengan pelanggan kayak gue. 

Begitu sampe di parkiran, gue langsung buka aplikasi ojek online. Ilang sinyal. Setelah beberapa menit muter-muter nyari sinyal di ponsel nyokap, gue berhasil pesen. Dan gue pulang ke rumah dengan selamat dan ga kena ujan. Tapi btw, sampai tulisan ini gue posting, simcard gue masih belum aktif. Padahal katanya satu jam. Yaa, gue tunggu aja. Katanya ada kemungkinan 1x24 jam. Doakan saja. 

NB: jempol buat petugas customer service dan petugas lainnya. Mereka emang sukses di training untuk benar-benar ramah, friendly, supel, tapi ga over.
Part 1
Part 2

today was not my day: part 2

Kebodoran gue ga berakhir di situ. Gue nyaris kekunci di toilet. Dalam orde detik itu gue sempet berpikir keras menemukan cara untuk mendapatkan bantuan kalau-kalau gue beneran kekunci. Toiletnya terpencil dan kondisi galeri lagi sepi banget jadi kalo gue gedor-gedor bakal butuh waktu yang lama banget. Satu-satunya bantuan tercepat ialah nelepon nomor yang ada di tablet yang dipakai mas kece tadi (doi nelepon pake tablet dan nomer 'kantor' buat ngecek nomor gue), tetapi di saat yang bersamaan, itu ga masuk akal. Nanti gue dikira modus! Ha! Sebelum gue sempat berpikir aneh-aneh, pintunya pun terbuka. Ternyata gue jauh dari kata terkunci. Gue nya aja yang kurang tenaga buat memutar.

Gue gatau mas dan mba itu ada di sana apa engga, tapi gue pasang wajah dan gaya cool ketika turun dan pasti berada dalam jarak pandang mereka (kalo ada). Gue langsung ke supermarket karena gue haus. Tepat di depan eskalator yang mengarah ke supermarket di lantai bawah, gue jatoh. 
Tengkurap. 
Ga sakit. 
Tapi malu. 
Karena di situ ada petugas security dan bapak-bapak. 
Gue tahu banget mereka liat gue jatoh, tapi mereka cuek. Mereka tahu gue malu dan mereka tahu gue ga terluka jadi mereka menjaga harga diri gue dengan cara tidak memandangi gue dan tidak mencoba berkomunikasi dengan gue. Semoga rezeki kalian dilipatgandakan!

Di supermarket, semua biasa. Pas jatoh gue emang udah langsung mikir, "today is not my day," tetapi menahan diri buat ga bilang gue ketimpa sial atau apes. Dan gue pikir semua berhenti di situ aja. Ternyata lagi-lagi gue salah.

Di parkiran, di depan restoran fast food, gue memutuskan buat ganti simcard. Udah sejam, pasti udah aktif. Gue ngemper di depan teras restoran  fast food  itu. Sempet kepikir buat numpang duduk barang lima menit di dalam supaya prosesi ganti simcard nya lebih khusyuk tapi bapak security pas banget bertengger di dekat pintu bagian dalam. Gue juga menghargai pelanggan lain yang beneran pengen makan jadi yasudah (kondisi lumayan rame). Gue sempet liat sinyal simcard lama masih ada, tapi somehow 3G nya udah lama ilang. Dengan pede, gue ganti dengan yang baru. Ada sinyal! Jengjengjeng. Bisa 3G. Gue langsung buka aplikasi ojek online dan ternyata ga bisa. Gue coba cek pulsa ga bisa. Ternyata nomor itu ga aktif. Ga bisa nelpon atau ngapa-ngapain. Gue kepikir buat ganti ke simcard lama, tapi tiba-tiba dia raib! Padahal sebelumnya gue liat dengan jelas simcard itu meluncur masuk ke dalem tas gue pas gue buka. Dan ga ada.

I looked so pathetic back then. Akhirnya setelah ngintip bagian dalam restoran yang lengang dan ga ada security, gue masuk. Gue duduk deket pintu dan sebelahan sama kakek kakek gaul yang sibuk dengan smartphonenya. Gue mulai mencari simcard lama dengan tenang, lalu berubah menjadi panik. Rasanya pengen banget gue tumpahin isi tas gue, tapi gue malu. Gue bingung cara gue pulang gimana. Kalau gue naik Bus TJ, gue mesti transit. Sebelum dan sesudah transit, gue mesti melewati sejumlah halte yang sebenarnya justru makin menambah jarak ke rumah gue. Makin jauh. Muter-muter. Ada banyak bbg (bajaj) yang mangkal dekat situ tapi kalo naik bbg dan ga bisa nawar, harganya mahal. Kalau naik taksi, gue takut dibawa raraun (Bahasa Padang; re: jalan-jalan) atau berplesir (Bahasa Jawa dan Indonesia; re: jalan-jalan) atau simpelnya muter-muter. Belum lagi kalo ternyata salah rute dan kejebak macet. Opsi lainnya minta nyokap pesenin ojek dari rumah yang langsung gue eliminasi karena gue ga bisa nelpon. Pilihan lainnya pesen ojek pake wifi, tapi itu artinya gue mesti jajan di restoran itu. Bukannya pelit atau menghemat, tapi gue lagi diet kolestrol. Kolestrol gue sedikit melewati batas atas aman dan gue dalam misi menurunkan itu. Sebenarnya dulu, saat pola makan gue jauh lebih ancur dari ini, pasti kadar kolestrol gue lebih tinggi lagi cuma karena gue ga pernah ngecek sebelumnya, gue jadi ga punya patokan. Gue sempet kepikir untuk take away aja buat nyokap tapi kadang wifi di restoran ga bisa dipake. Jadi, gue mengambil langkah lain: naik bus TJ. Gue sempat lega karena dari awal gue duduk sampai akhirnya angkat kaki dari situ, kakek kakek itu ga kepo atau memandangi gue, jadi malu gue berkurang. 

Gue sampai di halte dan ternyata saldo kartu gue abis. Gue menghela napas dan mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan. Sambil ngantri di loket, gue udah ngebayangin panjangnya perjalanan yang mesti gue tempuh padahal rumah gue lumayan deket. Saat tiba giliran gue, ternyata oh ternyata kartu gue ga bisa diisi. I had no idea why. Dan jelas masalaahnya bukan di loketnya karena sebelumnya orang-orang bisi top up. Gue udah tarik napas panjang dan bilang mau beli kartu baru aja. Stok kartu mereka ga ada, Mbaknya lalu mengembalikan uang dua puluh ribu gue lalu dia tarik lagi dan ganti dengan selembar lima puluh ribu. Mbaknya mabok. Untung gue ga lagi mabok. Gue minta yang dua puluh ribu. Untungnya. Kalau gue sadar itu pas udah di parkiran atau di galeri, gue mesti menempuh ratusan langkah dan mendaki tanjakan ke halte untuk ngembaliin duit itu.

Dengan cepat gue langsung kembali ke galeri. Tidak ada langkah gontai karena gue lihat cuacanya mendung. Gue udah memutuskan gue ga bisa naik ojek. Pasti nantti bakal kehujanan. Sampai di galeri, gue langsung nyamperin Mbak di depannya (bukan di atas). Gue ceritain singkat dan di situ gue tahu satu fakta bahwa simcard baru digunakan setelah simcard lama kehilangan sinyal total. Mas kece tadi ga bilang dan bodohnya gue mengasumsikan dia sudah kehilangan sinyal karena tidak bisa 3G. Dan lagian aneh kan. Simcard yang baru ada sinyal tapi ternyata ga aktif. Mas di depan komputer akhirnya bantu buat ngecek nomer gue. Masih on progress. Katanya maksimal 1x24 jam. Gue membeo. Beberapa tahun yang lalu juga gue sempet ganti simcard dan emang akitifnya agak lama. Jadi yasudah.

Gue turun, ke parkiran, lalu keluar. Gue sengaja ga nyebrang karena bbg di seberang itu tepat di depan salah satu restoran. Gue ga boleh takabur hanya karena gue berhasil duduk lama di dalam restoran fast food yang aromanya selalu mengundang itu tanpa beli atau makan. Tanpa tergoda. Dan gue ga yakin apa gue bisa menahan godaan terakhir di hari itu. Jadi, gue jalan beberapa meter dan menghampiri abang bbg paling depan dalam deretan. Dia mematok harga yang agak tinggi. Enam kali lipat tarif rata-rata ojek online yang gue gunakan tadi dengan cara bayar pakai sistem kredit (diskon 50% dari sistem cash). Karena gue tahu harga pasaran bbg dari sana ke rumah gue cuma tiga setengah kali lipat tarif ojek online tadi, gue tawar seharga itu. Terjadilah tawar menawar sampai akhirnya kami sepakat di harga 4 kali lipat. 

Itu pertama kalinya gue naik bbg atau bajaj sendirian. Gue tahu jalannya dan risiko berplesir kecil banget karena nanti abangnya yang rugi. Kesepakatan harga di awal. Baru setengah jalan, hujan deras turun disertai angin kencang. Air hujan masuk ke dalam bbg. Gue lumayan kebasahan tapi gue salut sama bangnya yang ga ngedumel meskipun jalanan agak banjir. Untungnya ga macet. Gue bawa payung, tapi gue tahu payung gue ga akan bisa melindungi gue. Gue pengen nelpon bokap dan minta jemput di pos ronda dengan sendal jepit dan payung gede, tapi kan gue ga bisa nelpon. Akhirnya gue merelakan flat shoes gue kerendam air lebih dari mata kaki dan mengandalkan payung ungu gue untuk melindungi badan gue yang sayangnya terlalu lebar jadi tetap juga kebasahan. Sampai rumah gue ceritain ke ortu gue dan mereka langsung sibuk nyari simcard lama gue di dalam tas. Gue tahu banget ortu gue pengen komen soal buku tebal yang gue bawa tapi batal karena mereka udah tau banget gue: ke mana-mana bawa buku. Gue mau mengembalikan kebiasaan lama gue sebelum smartphone mengambil alih hidup gue: mengisi waktu luang di mana pun dengan membaca buku. Rencananya gue mau nunggu antrian sambil baca buku tapi ternyata hari itu emang lengang.

Simcard gue ga ketemu. Akhirnya simcard yang baru gue keluarkan dan gue biarkan. Katanya harus dalam kondisi dikeluarkan dari peralatan komunikasi supaya bisa aktif. Gue harus nunggu 24 jam. Nyokap sempat nanya apakah gue nangis di sana dan gue jawab engga. Ini kemajuan. Biasanya gue nangis di jalanan atau di tempat umum. Ya gak tersedu-sedu macam ditinggal nikah mantan, tapi ya nangis yang sok tegar. Dan gue ga nangis. Tapi hampir.

Itulah cerita keteledoran gue hari itu. Gue bukan orang yang teledor sebenernya. Gue cukup teliti dan telaten. Tapi, pasti selalu ada suatu waktu di mana gue jadi sangat ceroboh dan teledor, entah itu karena ga fokus atau karena memang begitu. Gue selalu punya dua kutub yang berlawanan dalam diri gue. Bagi kalian yang melek sama ilmu psikologi, kalian pasti ngeh maksudnya apa. Tapi, gue juga bertanya-tanya, apa sebenarnya bocah itu pengen ikut tapi ga gue ajak? Mungkin lain kali, gue harus belajar buat lebih pengertian sama anak kecil.

Pelajaran lain yang gue ambil adalah buat lebih bergantung sama orang lain. Gue pikir karena cukup deket dan cepat, gue bisa sendiri. Untuk beberapa hal, pergi sendiri lebih efektif: dateng, urus, pulang, lalu bisa angkat jemuran sebelum ujan. Kecuali kalo emang mau sekalian hang out  atau belanja bareng. Tapi ada baiknya gue untuk yang kayak gini, kalo bisa narik orang juga. Kalaupun ga ada yang bisa pada saat itu, gue bisa narik opangojek pangkalandi pos ronda depan rumah buat nganter, nunggu, dan jemput.

Oke. Sekian dan terima kasih udah mau repot-repot baca posting-an sepanjang ini. 

NB: Bagian anti klimaks: Part Terakhir Dan buat kalian yang suka Paris, baca The Chocolate series nya Laura Florand. Gue udah baca 3 dari 4 (kalo ga salah) novelnya dan The Chocolate Thief gue baca untuk kedua kalinya. Romantis dan ga cheesySetting di Paris lengkap dengan cokelat, pastri, dan sungai Seine.

today was not my day: part 1

Gue udah menetapkan hati untuk ga lagi menjadikan blog gue sebagai jurnal pribadi yang berisi keseharian kekonyolan gue seperti di tahun 2012 silam (puluhan posting-an tersebut udah lama gue hapus). Itu berarti, gue berjanji tidak akan menulis satu pun tentang itu di sini lagi, but I just couldn't help it! Dari judul, kalian pasti bisa nebak dong maksud gue apa. Yap. Kesialan. Bad luck. Bad day. Whatever. Tapi gue berusaha ga menyebutkan itu. Pamali. Semua hari baik, tapi kecerobohan kita yang membuat kita seharian mengalami kejadian konyol bertubi-tubi. Sekarang, gue mulai ceritanya. 

Kejadiannya bukan hari inibukan juga kemarin. Katakanlah beberapa hari yang lalu supaya kalian ga bisa nebak hari apa. Di suatu siang yang sejuk, gue memutuskan untuk pergi ke galeri salah satu provider untuk mengganti simcardWell, sebenernya keputusannya udah dari subuh. Jadi, setelah solat, makan siang, dan nyuci daleman, gue siap-siap mau berangkat. Ga ada urgensi buat ganti sih, tapi selagi sempat, kenapa engga? Selagi bisa pergi pas hari kerja, kenapa engga? Toh nothing to lose. Nah, kebetulan tetangga beda RW dateng ke rumah untuk ngobrol sama nyokap. Hal yang biasa. Kedua ibu bersuara cempreng tapi baik banget (karena sering bawa makanan ke rumah dan oleh-oleh  ke rumah :v) emang sering nitip beli baju sama nyokap. Hal yang ga biasa adalah mereka bawa bocah perempuan yang kepo dan bawel ke rumah gue. Gue sempet denger dia ngomong ke mereka pengen ngajak gue kenalan tapi gue terlalu sibuk nyuci dan ga keluar. Akhirnya pas gue lagi dandan, bocah itu masuk ke kamar. Agak gimana ya, dandan dan ganti baju diliatin, tapi mungkin dulu gue juga gitu tanpa sadar. Dia pinter dan kepo. Sejenak gue sempet takut dia mau minta boneka gue karena dia komen tentang boneka gue yang banyak (padahal mah dikit). Well, empat dari sedikit boneka gue itu dikasih sama cici yang anak balitanya dapet segudang boneka sebagai kado ultah dan anaknya itu udah kewalahan buka kadonya—juga udah kebanyakan boneka. Jadilah kado-kado itu lengkap dengan bungkus unyunya beralih kepemilikan ke gue yang udah bangkotan tapi pemikiran masih kayak bocah.  (Selain ke gue, kado-kado itu juga ada yang pindah ke teteh). Nah, jadi ga lucu kan kalo gue dapet boneka dari bocah trus gue kasih ke bocah. Ga lucu juga sih. Gue nya aja yang ga biasa punya adek -__- Tapi, intinya dia ga minta. Dia ternyata (gue baru tahu belakangan dari nyokap) lebih mengagumi kulit gue yang putih. Dia sampai nanya ke nyokap apakah gue turunan etnis Tionghoa. My dear, Ini bukan putih. Ini kuning langsat. Atau sawo mentah yang dipilok putih. Perpaduan kulit peachy nyokap dan sawo kematengan bokap.