Sore itu aku lapar. Aku memang selalu lapar, begitu katamu. Mau makan apa dan di mana, tanyamu seperti biasa. Kamu mau makan apa, balasku seperti biasa. Seperti biasa, kamu selalu memberikanku kebebasan untuk urusan perutku, dan seperti biasa, aku malah memikirkan kenyamananmu. Pasangan yang aneh!
Tercetuslah suatu nama tempat yang memang akan kita lalu sore itu. Kamu yang mengucapkannya. Aku langsung mengiyakannya. Dan kamu, tetaplah kamu, yang mengatakan, bahwa aku terpaksa memilihnya. Kukatakan suatu rahasia: aku tidak terpaksa. Aku hanya malas berpikir!
Aku memesan menu yamin. Kita makan sambil bercerita. Dari A ke F, lalu ke T, dan kembali ke B. Kukatakan dia berasal dari Yaman. Ada jeda beberapa saat. Kemudian kamu bertanya, pedas atau manis. Kujawab manis, sebab perutku kurang baik untuk memakan yang terlalu pedas sore ini. Lalu kamu bertanya lagi, dia dari Yaman? Kujawab, ya. Dan kamu, dengan kekonyolanmu, menanyakan sekali lagi, pedas atau manis?
Kesal. Kulempar kamu. Dengan kasih sayang. Dan semangkuk yaman manis--semanis perasaan yang ada di antara kita.
No comments:
Post a Comment