sore ini cukup dingin. kurapatkan jaket angkatanku dan melangkah memasuki gedung berbentuk heksagonal. terlalu cepat untuk masuk kelas, aku tahu. tetapi rasanya aku ingin segera memasuki kelas tersebut, dan berharap entah bagaimana waktu cepat berlalu dan tiba waktunya untukku pulang, menyudahi hari yang panjang dan melelahkan ini. sejak jam tujuh pagi aku berada di kampus, dan tidak ada jeda sama sekali kecuali satu jam yang lalu. benar-benar melelahkan.
kelas besar ini masih sepi. kulihat beberapa mahasiswa dari program studi tetangga sepertiku sudah duduk di deretan kedua dan ketiga, juga menempatkan spot spot duduk untuk teman-teman mereka. aku pun tidak mau kalah. aku tahu, di kelas ini hanya ada kurang dari sepuluh mahasiswa dari program studiku. tapi setidaknya, aku menempatkan dua spot untuk kedua temanku di sisi kanan dan kiriku.
"di sini ada orang?" seorang laki-laki dari program studi tetangga yang tempo hari menanyakan strapler kepadaku, bertanya dengan ramah. aku mengangguk dan kembali hanyut dalam lagu yang kudengarkan dari headsetku. handphone ku berdering beberapa kali. salah satu temanku menagatakan ia tidak akan hadir di kelas ini, sementara beberapa teman program studi ku yang masuk kelas lain memberitahuku bahwa temanku pindah ke kelasnya.
"di sini ga ada orang."
aku memberi tahu laki-laki tadi. ya, tidak ada mereka berdua. aku sendiri. di sini, terjebak di antara laki-laki yang entah bagaimana secara kebetulan berada di deretan sebelah kiri ku. aku memandang sekeliling. mereka adalah mahasiswa dari program studi tetangga sama seperti program studi ku yang hal nya tetangga, tapi mereka bersama dan berkumpul. dan aku? aku sendiri di sini.
"oh iya."
laki-laki itu membalas. aku agak tercengang mengetahui ia orang yang ramalh dan cukup lembut pada perempuan. kupikir ia tidak begitu. tidak, aku tidak mengenalnya. aku hanya pernah bertemu dengannya di suatu waktu, sekali. kami berada dalam satu ruang kelas di luar mata kuliah dan minggu berikutnya aku sadar ia sekelas denganku di suatu mata kuliah semester lalu. tapi apa yang aku lihat darinya saat ini sungguh berbeda.
sudahlah. aku tidak peduli. bagaimana pun, aku iri dengan mereka. aku memutuskan berhenti memandang mereka dan tersenyum getir memandang papan tulis.
program studi asli datang ememenuhi kelas. mungkin ada kesan tersendiri saat jadi mayoritas dan menjadi tuan rumah. kulihat tiga orang teman laki-laki ku memasuki kelas, namun dua di antara mereka keluar kelas lima menit kemudian. nampaknya mereka pindah ke kelas lain.
satu jam berikutnya terasa sangat lama bagiku. di kelas besar yang penuh hiruk pikuk seperti ini, aku merasa aku sendiri. rasanya aneh. rasanya seperti tidak berkawan. rasanya menyedihkan.
kelas bubar. aku memasang headset dan berusaha terhanyut dalam lagu yang kudengarkan. namun sepertinya pilihanku salah. hari yang semakin senja. semilir angin. rasa dingin yang menusuk kulitku. rasa lelah dan rasa sendiri membuatku menjadi mellow.
aku menelusuri jalanan kecil itu sendirian. banyak memang orang di sekitarku, tapi aku sepenuhnya sendirian. aku terus menelusuri jalan hingga ke gerbang depan. dan inilah yang kurasakan.
...
rasanya aku baru menemukan sesuatu yang hilang. seperti ada lubang di hatiku. rasanya menyedihkan. rasanya sepi. rasanya seakan aku bisa saja hancur dengan sedikit sentuhan. atau bisa saja hilang dengan hembusan pelan angin di kala senja.
kurasa aku merindukannya. aku ingat betul bagaimana aku tidak pernah merasa sendirian saat kami bersama. bukan, bukan teman tidak penting bagiku. tapi ada lubang-lubang yang tidak bisa seorang sahabat atau sekumpulan teman isi. ada hal-hal yang tidak bisa mereka berikan dan mereka lakukan.
aku ingat bagaimana setiap kelas berakhir aku langsung bergegas menemuinya di tenggara sana. aku ingat bagaimana ia yang selalu mengontakku untuk sekedar menanyakan keadaanku dengan caranya yang tidak berlebihan. aku ingat bagaimana kami menelusuri jalanan ini berdua. aku ingat bagaimana kami menjelajah kampus ini berdua.
aku tidak pernah merasa sendiri. dulu. saat aku merasa kampus ini menekanku sebegitu parahnya, ia ada di dekatku. ia mungkin bukan seorang pembicara yang baik, tapi kehadirannya membuatku bisa lebih tenang. ia rela merasakan kesakitan demi aku merasakan kelegaaan dan kepuasaan melampiaskan amarahku.
aku ingat bagaimana kami pulang bersama di sore atau siang hari. meski pun lelah, kami tetap akan tertawa bersama, terpingkal-pingkal. kami tidak pernah bosan dan lupa menanyakan dan bercerita tentang keseharian masing-masing kami. apa pun beban, serasa menguap saat kami tertawa lepas bersama dan tahu kami ada untuk satu sama lain.
di bawah langit sore, aku menyesal telah memutuskannya. aku tahu ini gila, tapi begitulah. bagaimana bisa aku melakukan hal itu dulu? dan semua hal itu berdampak selanjutnya, yang saat ini malah kupikirkan dan kujelaskan. satu hal yang jelas. ia sudah pergi bersama orang lain saat ini. dan aku. aku di sini sendiri. tanpa dia atau siapa pun. tanpa sahabat. tanpa teman-teman. aku benar-benar sendirian.
aku terlunta-lunta bangun dalam keterpurukanku di kampus ini. andai saja aku bisa meminjam otak jenius einstein dan pemikiran socrates, juga semangat seorang atlet. nyatanya, aku sendiri. tidak ada bantuan. aku terlunta. aku tertatih. aku sendiri.
kamis ini benar-benar kamis kelabu.
No comments:
Post a Comment